Di era yang terus berkembang ini, istilah dan fenomena baru sering kali muncul dalam dunia pekerjaan, terutama di kalangan Generasi Z. Salah satu fenomena terbaru yang telah menarik perhatian adalah “quiet covering,” yang menjadi perbincangan hangat di kalangan profesional.
Setelah kehadiran tren seperti “quiet quitting,” kini banyak yang berusaha memahami lebih dalam mengenai “quiet covering.” Istilah ini merujuk pada sikap para pekerja muda yang memilih untuk menyembunyikan bagian tertentu dari diri mereka untuk menghindari penilaian atau stereotip dari rekan kerja.
Riset yang dilakukan oleh sejumlah lembaga menunjukkan bahwa “quiet covering” bukan hanya sekedar ungkapan, melainkan juga mencerminkan kondisi kesehatan mental di tempat kerja. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman dan penerimaan dalam lingkungan profesional saat ini.
Pengertian dan Ruang Lingkup Quiet Covering dalam Dunia Kerja
Quiet covering adalah praktik di mana individu memilih untuk menyembunyikan identitas atau aspek pribadi mereka agar dapat diterima dalam lingkungan kerja. Banyak orang, terutama dari Generasi Z, merasa perlu untuk mengatasi tekanan dan ekspektasi yang ada.
Survei terbaru mengungkapkan bahwa lebih dari setengah responden mengaku melakukan “skill masking,” yaitu menyembunyikan kekurangan pengetahuan atau kemampuan. Ini menunjukkan betapa besar tekanan yang dirasakan untuk tampil sempurna agar mendapat pengakuan.
Tak hanya itu, banyak yang mengaku berpura-pura paham dengan situasi yang sebenarnya tidak mereka mengerti. Praktik ini sering kali didorong oleh keinginan untuk tidak dianggap lemah atau kurang percaya diri oleh atasan dan rekan kerja.
Dampak Quiet Covering terhadap Kesehatan Mental dan Produktivitas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa “quiet covering” dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan mental para pekerja. Stress yang disebabkan oleh kebutuhan untuk berpura-pura dapat menghambat produktivitas dan efisiensi.
Berdasarkan data, sekitar 64% responden melaporkan mengalami tingkat stres sedang hingga berat akibat praktik ini. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan tersebut tidak hanya bersifat sementara, tetapi dapat memengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan.
Lebih parah lagi, 56% pekerja mengungkapkan bahwa keterlibatan mereka di tempat kerja menurun. Ketiadaan keaslian dalam interaksi sosial dapat menyebabkan dampak jangka panjang, baik dalam karier maupun kesejahteraan personal.
Alasan dan Motivasi di Balik Quiet Covering di Kalangan Generasi Z
Kebanyakan Gen Z merasa perlu untuk menyembunyikan identitas mereka demi mendapatkan penerimaan sosial. Beberapa alasan mencakup menjaga citra professional, menghindari diskriminasi, serta peluang untuk promosi dan pengembangan karier.
Menarik untuk dicatat, sekitar 55% dari mereka yang terlibat dalam “quiet covering” melakukannya untuk menjaga citra profesional. Ini menunjukkan adanya keinginan mendalam untuk diterima tanpa harus mengorbankan bagian dari diri mereka.
Mereka juga menghindari berbagi tantangan kesehatan mental yang sedang dihadapi, takut hal itu akan merugikan karier mereka. Hal ini menunjukkan betapa rumitnya dinamika antara authenticity dan survival dalam lingkungan kerja saat ini.
Mengurangi Praktik Quiet Covering: Kunci Menuju Tempat Kerja yang Sehat
Untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik, penting bagi organisasi untuk memperhatikan isu ini. Penyediaan ruang bagi karyawan untuk mengekspresikan diri mereka dengan cara yang autentik dapat meningkatkan produktivitas dan kebahagiaan.
Perusahaan perlu mengadakan pelatihan dan workshop mengenai keberagaman dan inklusi, agar semua karyawan merasa nyaman dalam berbagi pengalaman mereka. Pendekatan ini bukan hanya akan mengurangi “quiet covering,” tetapi juga memperkuat tim secara keseluruhan.
Mendorong budaya komunikasi terbuka dan kepercayaan di dalam perusahaan dapat menjadi langkah awal untuk meminimalisir dampak negatif dari tekanan tersebut. Dengan meningkatnya kesadaran akan isu ini, harapannya adalah dapat mendorong karyawan untuk lebih terbuka dan authentic.