Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan unik dalam merespons emosi, di mana banyak dari mereka memilih makanan sebagai cara mengatasi berbagai perasaan. Hal ini, menurut para ahli, bukan hanya berdampak pada kesehatan individu, tetapi juga berkontribusi pada masalah limbah makanan yang semakin meningkat di rumah tangga.
Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 50 persen orang Indonesia mengandalkan makanan untuk meredakan stres, kebosanan, atau kelelahan. Kebiasaan ini menciptakan pola konsumsi yang tidak seimbang, yang dapat membawa dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat.
Riset yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) pada tahun 2024 mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa 5 dari 10 orang Indonesia mengalami apa yang dikenal sebagai emotional eating. Ketika mengalami tekanan emosional, banyak orang lebih cenderung memilih makanan yang bersifat tidak sehat, yang pada akhirnya berkontribusi pada meningkatnya food waste.
Menurut Dr. Ray Wagiu Basrowi, Sekretaris Jenderal Indonesian Gastronomy Community (IGC), kebiasaan ini seringkali berakar pada pilihan makanan yang didasarkan pada tren atau gengsi, alih-alih kebutuhan nutrisi yang sebenarnya. Dia menekankan, masalah ini jauh lebih dalam dan membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif untuk mengubah pola makan masyarakat.
Makanan Sebagai Pelarian Emosional dan Dampaknya
Makanan sering kali dimanfaatkan sebagai alat untuk meredakan ketegangan mental. Dalam banyak kasus, orang mencari kebahagiaan sementara melalui makanan, padahal efek jangka panjangnya bisa merugikan. Ini menghasilkan pola perilaku konsumsi yang sangat merugikan bagi kesehatan.
Hal ini juga mengakibatkan pemborosan makanan yang dapat menghabiskan sumber daya. Dr. Ray menjelaskan, saat makanan dipilih tidak berdasarkan kebutuhan tetapi lebih berdasarkan keinginan, akan ada peningkatan yang signifikan dalam limbah makanan.
Waktu dan biaya yang dihabiskan untuk makanan yang pada akhirnya tidak dikonsumsi menjadi salah satu masalah besar dalam sistem pangan. Oleh karena itu, mengubah cara berpikir tentang makanan menjadi hal yang penting.
Pentingnya Edukasi Makanan Sejak Dini
Pendidikan tentang pola makan yang baik seharusnya dimulai sejak usia dini. Dr. Ray berpendapat bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama yang berperan penting dalam membentuk kebiasaan anak-anak. Jika orang tua mampu menanamkan nilai-nilai positif terhadap makanan, anak-anak cenderung memiliki pola konsumsi yang lebih sehat.
Ketua Umum IGC, Ria Musiawan, juga menggarisbawahi perlunya upaya edukasi berbasis tradisi dan budaya lokal. Misalnya, ungkapan tradisional seperti “Ayo makanannya dihabiskan, nanti Dewi Sri menangis” dapat menjadi cara yang efektif untuk mendidik anak-anak tentang pentingnya menghargai makanan.
Ria menekankan bahwa filosofi tersebut telah ada sejak lama dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran generasi muda saat ini. Dengan memberikan pengetahuan dan nilai-nilai ini, diharapkan generasi mendatang akan lebih menghargai dan tidak membuang makanan.
Program Edukasi Pola Makan yang Dijalankan di Beberapa Kota
IGC saat ini menjalankan program edukasi pola makan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Bogor, dan Yogyakarta. Program ini berfokus pada pentingnya pengurangan limbah makanan dan mempromosikan kebiasaan makan yang sehat. Dukungan dari Badan Gizi Nasional menjadikan program ini lebih kuat dan terpadu.
Materi edukasi yang diajarkan meliputi tidak hanya budaya makan, tetapi juga etika makan dasar, cara duduk yang baik, dan teknik mengunyah yang benar demi menjaga kesehatan. Semua ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya makanan bagi perkembangan kognitif anak-anak.
Ria menekankan bahwa cara makan yang benar sama pentingnya dengan kualitas makanan itu sendiri. Dengan pengajaran yang tepat, anak-anak diharapkan akan lebih menghargai setiap suapan yang mereka konsumsi.






