10 Tahun Perjanjian Paris, Sejauh Mana Dunia dari Target 1,5 Derajat Celsius?
Post text template (spintax enabled, like Great) —
Perjanjian Paris baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-10, sebuah langkah signifikan dalam upaya global untuk mengatasi pemanasan global dan membatasi kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius. Pencapaian ini, meskipun penuh tantangan, menunjukkan semangat kolektif di antara negara-negara yang terpengaruh langsung oleh perubahan iklim.
Salah satu kelompok yang paling aktif dalam inisiatif ini adalah Koalisi Ambisi Tinggi, terdiri dari negara-negara yang berada di garis depan dampak perubahan iklim. Mereka bertekad untuk mendorong penegakan target ambisius yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris.
Pada konferensi COP 2015 di Paris, para delegasi tidak hanya menjalankan misi, tetapi juga mengenakan pin bertuliskan “1,5 untuk bertahan hidup,” sebuah simbol dari bahaya yang ditimbulkan oleh pemanasan global, terutama bagi negara-negara kepulauan yang berisiko tenggelam. Meski situasi saat ini menjadikan target tersebut semakin sulit untuk dicapai, kesadaran akan krisis ini semakin meningkat.
Faktanya, kita sudah berada di titik kritis dengan suhu yang terus meningkat. Setiap tambahan ton polusi yang dihasilkan menambah risiko, sedangkan pengurangan polusi adalah cara untuk menciptakan dunia yang lebih aman bagi generasi mendatang.
Meskipun upaya yang dilakukan belum sepenuhnya memenuhi harapan, perjalanan dalam memerangi perubahan iklim terus berlangsung dengan sejumlah kemajuan. “Kita telah menempuh perjalanan yang luar biasa jauh sejak Paris,” ungkap seorang pakar yang terlibat dalam inisiatif ini.
Di COP 2023 yang berlangsung di Dubai, satu pencapaian penting adalah aksesi pada Perjanjian Paris yang mendorong peralihan dari penggunaan bahan bakar fosil. Ini adalah langkah signifikan yang menunjukkan keseriusan dunia dalam menangani akar masalah perubahan iklim.
Urgensi Perubahan Iklim dan Tindak Lanjut Global
Pertarungan melawan perubahan iklim kini menjadi masalah mendesak yang perlu ditangani secara global. Dampaknya terasa nyata, mulai dari badai dahsyat yang melanda Puerto Rico pada tahun 2017 hingga wilayah Jamaika yang baru saja mengalami badai terkuat dalam sejarah. Ini menunjukkan bahwa tantangan yang ada semakin besar dan harus segera dihadapi.
Namun, pada waktu yang bersamaan, ada suara-suara yang menolak kesepakatan ilmiah tentang pemanasan global. Salah satu di antaranya adalah pendapat seorang pemimpin yang meremehkan kondisi ini, menganggap perubahan iklim sebagai “penipuan.” Pernyataan tersebut muncul bersamaan dengan upaya untuk alokasi dana yang tidak mendukung proyek energi bersih.
Ironisnya, langkah-langkah tersebut diambil pada saat para ilmuwan semakin menyadari bahwa potensi bahaya yang ditimbulkan dari perubahan iklim mungkin telah diabaikan. Beberapa peneliti baru-baru ini mengindikasikan bahwa Bumi telah melewati titik kritis, dan banyak ekosistem, seperti terumbu karang, mengalami kesulitan yang tak terbayangkan.
Sementara itu, meskipun ada penyangkalan dari beberapa pihak, banyak organisasi dan individu berjuang untuk mencari solusi terhadap krisis perubahan iklim. Misalnya, energi terbarukan semakin mendapatkan tempat yang lebih baik dalam peta energi global, dan dalam waktu dekat, kemungkinan besar akan menggeser sumber-sumber energi tradisional.
Pergeseran Menuju Energi Terbarukan yang Berkelanjutan
Tenaga angin dan surya semakin mendominasi dalam memenuhi kebutuhan energi dunia. Dalam waktu yang relatif singkat, kedua sumber ini dapat memenuhi hampir 90 persen permintaan listrik baru. Transisi ini lebih cepat dari yang diperkirakan, mencerminkan keinginan untuk mengurangi ketergantungan pada sumber energi yang berbahaya bagi lingkungan.
Menurut analisis terbaru, instalasi tenaga surya tumbuh dengan pesat, bahkan lebih dari lima belas kali lipat dibandingkan dengan prediksi sebelumnya. Pertumbuhan ini menunjukkan bahwa dunia semakin berkomitmen untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Survei global pada tahun ini juga menunjukkan bahwa mayoritas publik mendukung tindakan politik yang lebih tegas dalam menangani isu perubahan iklim. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran yang semakin meningkat di antara masyarakat mengenai pentingnya isu ini dan dampaknya di masa depan.
“Kita memiliki mayoritas yang kuat,” kata seorang direktur dari organisasi iklim, menegaskan harapan tentang tindakan kolektif. Ternyata, masyarakat tidak hanya mendukung perubahan, tetapi juga ingin terlibat dalam proses tersebut.
Upaya Menuju Kesepakatan Global yang Lebih Kuat
Para aktivis iklim tengah merancang strategi untuk memaksimalkan dukungan publik ini dengan dorongan dari Perjanjian Nonproliferasi Bahan Bakar Fosil. Inisiatif ini bertujuan untuk menetapkan tanggung jawab hukum bagi negara-negara untuk mengurangi emisi karbon dan polusi lainnya yang berkontribusi pada pemanasan global.
Dasar dari inisiatif ini berasal dari putusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk mengurangi polusi tersebut. Ini menekankan pentingnya keterlibatan global dalam mengatasi tantangan lingkungan yang kompleks dan saling terkait.
Seiring waktu, penanganan perubahan iklim bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan kolaborasi dari berbagai sektor. Dengan meningkatnya partisipasi publik dan kesadaran global, ada harapan baru dalam bisnis, politik, dan sosial untuk memajukan agenda perubahan iklim yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, meskipun perjalanan menuju stabilitas iklim penuh rintangan, semangat kolektif untuk membuat perubahan bisa menjadi faktor penentu. Keterlibatan berbagai pihak diharapkan mampu menciptakan kebijakan yang lebih progresif dan implementasi solusi yang lebih efektif dalam menangani krisis yang mengancam planet ini.






